05 Nov 2008 -
CIRI ORANG MULIA
Setiap orang tentu ingin hidup mulia, bahagia di dunia dan akhirat, tidak ada seorang pun yang ingin hidup sengsara apalagi hina. Namun terkadang kita salah persepsi dalam menggolongkan siapa yang disebut orang mulia dan tidak. Pandangan sebagian besar orang dalam mengukur kemuliaan seseorang hanya dari segi materi, kekayaan, memiliki wajah tampan atau cantik dan jabatan yang tinggi, padahal semua itu tidak dapat dijadikan tolak ukur sebagaimana sabda Rasulullah saw : “Sesungguhnya orang yang paling utama (mulia) kepadaku adalah orang-orang yang takwa siapapun mereka itu, dan dimanapun mereka berada” (HR. Ahmad).
Menurut hadits di atas orang yang mulia tidak dilihat dari kekayaan, jabatan dan wajahnya saja akan tetapi seberapa besar ketakwaannya kepada Allah swt. Jika kita ingin menjadi orang mulia harus memiliki ciri-ciri kemuliaan.
1. Bertakwa Kepada Allah Swt.
Pada setiap kesempatan khutbah jum’at, khatib senantiasa menyampaikan kepada para jamaah shalat, untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. Takwa menjadi wasiat abadi karena mengandung kebaikan dan manfaat yang sangat besar bagi terwujudnya kebahagiaan hidup manusia di dunia maupun di akhirat, banyak kaum Muslimin yang belum memahami esensi takwa, takwa hanya dipahami sebatas ajaran agama semata, sesungguhnya takwa merupakan kumpulan semua kebaikan dan mencegah kemunkaran, dan dengan takwa dapat membangun derajat kemuliaan di hadapan Allah swt maupun manusia. Sebagaimana Allah berfirman : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al Hujurat [49] : 13)
Dan diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmizi, Nabi Muhammad saw pernah memberikan wasiat takwa dimanapun kita berada, sabdanya : “Bertakwalah kamu kepada Allah dimanapun kamu berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya akan dapat menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik (mulia)” (HR. Tirmizi).
Dan diantara makna takwa yang lain adalah waspada berhati-hati terhadap rambu-rambu syariat yang telah Allah swt tetapkan berupa perintah dan larangan. Abu Hurairah ketika ditnya tentang takwa, beliau menyatakan, “apakah kamu pernah melewati jalan yang berduri?” Si penanya menjawab: “Ya”. Abu Hurairah balik bertanya: “Lalu apa yang kamu lakukan?” Orang itu menjawab: “Jika aku melihat duri maka aku menyingkir darinya, atau aku melompatinya, atau aku tahan langkah”. Maka berkata Abu Hurairah: “Seperti itulah takwa”.
Secar lebih luas takwa artinya menjalankan segala kewajiban dan perkara-perkara sunah, serta menjauhi semua larangan dan perkara-perkara yang subhat (samar-samar). Takwa merupakan pakaian yang lebih baik, pakaian takwa akan selalu menyertai seseorang sampai kapanpun bilamana kita menjaganya. Sebagaimana Rasulullah saw menjelaskan dalam haditsnya agar takwa senantiasa tetap terjaga, Rasulullah saw mengajarkan untuk berdo’a, “Ya Allah aku mohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, penjagaandiri, dan kecukupan” (HR. Muslim).
2. Berlomba-Lomba Dalam Kebaikan
Kebiasaan baik para sahabat rasulullah saw selalu berlomba dalam melaksanakan kebaikan. Pada suatu hari serombongan fakir miskin dari sahabat Muhajirin datang mengadu kepada Rasulullah saw : “Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong semua pahala sampai tingkat yang paling tinggi”. Nabi saw bertanya, “Mengapa engkau berkata demikian?” Mereka menjawab; “Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa, mereka bersedekah dan memerdekakan budak, sedangkan kami tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya”. Setelah mendengar pengaduan orang tadi, Rasulullah bersabda: “Sukakah Aku ajarkan kepadamu amal perbuatan yang dapat mengejar mereka dan tidak seorang pun yang lebih utama dari kamu, kecuali melakukan perbuatan seperti perbuatanmu”. Mereka menjawab : “Baiklah, Ya Rasulullah”. Kemudian Rasulullah saw bersabda : “Bacalah Subhanallah, Allahu Akbar dan Alhamdulillah setiap selesai shalat masing-masing 33 kali”. Dan tidak lama kemudian para fakir miskin itu kembali mengadu kepada Rasulullah saw : “Ya Rasulullah, saudara-saudara kami orang kaya mendengar perbuatan kami lalu mereka melakukan sebagaimana kami lakukan”. Maka Rasulullah saw bersabda : “Karunia Allah swt diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki” (HR. Bukhari).
Perilaku sahabat yang miskin dan yang kaya dari hadits diatas sama-sama memiliki sifat yang begitu mulia saling berlomba dalam kebaikan, yang kaya beruntung dengan karunia rezeki, sehingga tidak menjadikannya seperti Qarun yang sombong dan bakhil (pelit), dan menyadari bahwa harta yang dititipkan Allah swt kepadanya harus dipergunakan semata-mata untuk mencari keridhaan-Nya, kekayaannya tidak menjadikan lupa daratan dan digunakan untuk membantu yang kesulitan, begitu pula dengan yang miskin tidak mau kalah dalam beramal, selalu mencari solusi untuk berlomba dengan sehat untuk mencari keunggulan dalam beribadah, dan sadar akan kekurangannya tidak menjadikan patah semangat untuk memberikan pengabdian terbaik untuk Allah swt. Menjadi kaya atau miskin tentu membutuhkan mental atau iman yang kuat untuk menerima kenyataan, namun yang terpenting adalah kesiapan memberikan yang terbaik untuk Allah swt, dengan begitu akan menjadi pribadi yang mulia dan bahagia.
3. Menepati Janji
Setiap kita pasti telah melakukan janji dengan keluarga, teman atau dengan rekanan bisnis. Jika seseorang telah berjanji dan ingat dengan janjinya, maka ia harus mempunyai kemauan yang kuat dan berupaya sungguh-sungguh untuk memenuhi janjinya. Adapun jika ingkar janji bukan karena lupa maka petaka akan menimpa kita dan tidak termasuk orang mulia. Karena pengingkaran janji semacam ini bisa membawa sikap tidak saling percaya, bahkan menjadi perselisihan, apalagi janji atau kesaksian kita kepada Allah swt untuk senantiasa mengesakan-Nya, menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya serta taat terhadap segala perintah dan larangan-Nya, sebagaimana Allah swt berfirman : “Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil janji (kesaksian) terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab : “Betul Engkau Tuhan kami. Kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS Al Araaf [7] : 172).
Kesaksiaan (perjanjian) kepada Allah swt di atas harus ditepati dan ditaati dengan cara cinta kepada Allah swt dan Rasul-Nya, merupakan pembuktiaan pemenuhan janji, karenanya barang siapa yang telah mengadakan sebuah janji, kemudiaan menepatinya maka termasuk orang-orang yang mulia dan beruntung. Sebagaimana Allah swt berfirman : “.........., sebenarnya siapa yang menepati janji yang dibuatnya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa” (QS Ali Imran [3] : 76).
4. Berilmu
Al Qur’an dan hadits telah menetapkan kemuliaan (keutamaan) orang yang menuntut ilmu dan orang yang berilmu beberapa derajat diantara orang orang yang beriman, sebagaimana Allah jelaskan dalam Al Qur’an : “........Dan apabila dikatakan : Berdirilah kamu. Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al Mujadilah [58] : 11).
Untuk menjadi orang yang mulia memiliki ilmu saja tidak cukup, karena ilmu harus dipertanggungjawabkan dengan kewajiban untuk mengamalkan dan memberikan manfaat kepada orang lain. Seorang sahabat Abdullah bin Mas’ud berkata : “Belajarlah –belajarlah dan jika kalian sudah berilmu maka amalkanlah, pada dasarnya semua manusia itu baik perkataannya, barang siapa yang perbuatannya sesuai dengan perkataannya maka dia telah beruntung nasibnya, dan barang siapa perbuatannya bertentangan dengan perkataannya, sesungguhnya dia telah menghinakan dirinya sendiri”. Seorang yang telah mencari ilmu dan memilikinya, kemudiaan mengamalkannya dengan benar berarti telah mendapatkan kemuliaan dan kebaikan yang banyak.
Semoga kita termasuk kedalam orang-orang yang mulia, AMIN...
Salam kenal mas Kibul, bagus mas artikelnya thanks ya...